Kamis, 30 April 2009

DIA

Aku memang bukan siapa-siapa
Tak pantas mencinta dan tak pantas untuk dicinta
Tak pantas hidup dengan cinta dan tak pantas mati dengan cinta
Tak pernah pantas bersanding dengan cinta dan tak pantas sakit karena cinta
Aku bukan dia
Aku tak bisa sepertinya dan tak mungkin akan menjadi dia
Karena aku adalah aku yang akan tetap terus menjadi aku
Hingga akhir nafas hidupku
Puisi itu, puisi itu yang mengantarkan aku bertemu dengannya. Dia, yang tak bisa ku hapus dalam ingatanku, dia yang sempurna, dia yang mungkin bisa hidup dengan cinta. Senyumnya yang manis dan tatapan busur panahnya, seolah mengurai kecandatawaan dalam dirinya. Nirwana mungkin tak akan percaya padaku bahwa ada cowok sepertinya. Penampilannya memang terlihat biasa-biasa saja. Tapi aku yakin auranya sangat berbeda. Mungkin dia adalah orang pertama yang membuat hatiku hanyut berkepanjangan. Tapi sayangnya aku tak tahu siapa dia. Dia yang membuatku kagum akan perasaan istimewa yang disebut “cinta”.

“Hayo…lagi nulis apaan sih! Kayaknya serius banget.”
“Apaan sih Lun, ngagetin aja,” jawabku sambil menutup buku diary bunga-bunga berwarna biru.
“Cie..kayaknya ada yang punya gebetan baru nih!” lontar Luna.
“Siapa lagi yang punya gebetan baru. Ada juga gue yang nanya kayak gitu sama lo. Tiap hari lo kan kerjaannya cuma meratiin cowok-cowok terus. Kemaren lo bilang, gebetan lo namanya Putra, trus kemaren lusa lo bilang Dewa, trus kemaren kemarennya lagi lo bilang Hendra. Gue jadi bingung, sebenernya gebetan lo itu ada berapa sih!”
“Duh, Nefira lo tuh gak up to date banget sih! Gebetan gue tuh cuma satu. Namanya Dewa Putra Mahendra. Jadi nama-nama yang tadi lo sebutin itu sebenernya satu orang.”
“Lagian sih lo bukan bilang dari kemaren-kemaren!”
“Eh, dasar elonya aja yang lemot. Orang gue dah bilang dari kemaren-kemaren juga.”

“Ah masa sih! Kalo gitu ya maap deh Lun.”
Perasaan cinta memang tak pernah singgah dalam hati Fira. Ya begitulah nama panggilan cewek yang punya nama asli Nefira Deswita ini. Cinta mungkin hanya dijadikan latar dalam karya-karyanya saja. Tapi kali ini cinta bukan hanya latar atau figura yang hanya lekat terpajang di dinding jendela. Cinta kali ini kini telah masuk ke dalam rumah hatinya bahkan tanpa mengetuk daun pintunya terlebih dahulu. Aku tak pernah menyesal karena telah terlahir menjadi manusia sempurna tanpa cacat tubuh sedikit pun. Karena hanya manusia yang dapat merasakan perasaan indah yang di sebut “cinta”.
“Maafin aku Lun. Aku terpaksa nggak jujur sama kamu. Karena aku nggak mau terbuai jauh lebih tinggi dalam angan-anganku ini. Aku cuma nggak ingin kecewa karena terlalu berharap banyak,” batinku dalam hati.
Aku seneng banget karena aku akhirnya bisa merasakan “cinta” yang sering diagung-agungkan sama Luna. Tapi di sisi lain hatiku sangat sakit, sakit sekali karena aku harus berbohong dengan Luna. Aku memang baru bersahabat dengannya selama dua tahun. Tapi aku bisa merasakan apa pun yang terjadi dengan Luna. Aku sudah seperti satu raga dengannya walaupun kita berbeda jiwa.
Diary, jika saja kau bisa mengerti bagaimana perasaanku ketika harus berada diantara dua pilihan. Tapi aku yakin Luna akan tetap menjadi prioritasku saat ini dan seterusnya. Karena cinta dan persahabatan takkan pernah mungkin bersanding bersama. Harus ada yang terluka dan kecewa. Entah itu cinta atau persahabatan. Lagi pula aku ini mikir apa sih! Aku kan cuma ngerasaain cinta, bukan mendapatkan sebentuk cinta dari dia yang kukagumi.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 23.57 WIB setelah Fira menutup pulpen pink silver ke dalam tutupnya. Kertas bercecer dimana-mana, buku-buku berjejer berantakan, bekas plastik permen di kolong meja belajar, begitulah keadaan kamar Fira. Ia memang orang yang cenderung rapih se-kali. Iya, hanya rapih satu kali saja kalau baru dirapihkan.
“Oh iya, aku kan belum beresin buku buat besok!”
Zlep…begitulah suara lemari buku Fira ketika dibuka.
“Maklum lemari buku lama. Namanya juga warisan turun temurun,” celotehku dalam kamar. “Besok itu Fisika…. Kimia… B.Inggris… Ma.. te..matika………”
Ya Ampun! Besok kan ada ulangan matematika. Mana ulangannya digabung lagi langsung dua bab. Duh bisa mati berdiri gue. Pokoknya gue harus belajar! Ya pokoknya gue harus belajar! Gue gak mau dapet bebek ma tongkat lagi. Apalagi ulangan besok langsung dua bab. Klo gue dapet nilai jelek lagi, bisa tambah kurus aja gue.
“Fir.. bangun Fir, kok lo tumben-tumbenan banget sih tidur di kelas.”
“Ah, apaan sih Lun, gue ngantuk berat nih. Lo jangan gangguin gue dong!” bisikku dengan nada setengah kesal.
“Ih buruan, Bu Fifi kesini Fir!”
“Ah, bodo amat!”
“Nefira !!! Keluar sekarang juga dari kelas ini!” teriak Bu Fifi.

Guru fisika yang satu ini emang angot-angotan orangnya. Kalo lagi baik, baiknya minta ampun. Tapi kalo lagi galak, galaknya nauju bileh. Sangar abis!

“Lho itu kan cowok yang kemaren aku liat di lomba puisi kemaren. Tapi ngapain juga dia ada di sekolah ini? Mana pake baju seragam sekolah lain lagi. Upz, dia ke ruang guru. Ada perlu apa ya? Ah aku selidikin aja deh siapa dia,” ucapku dalam hati.

“Nak, ini tolong bawain barang-barang Ibu ya.”

“Iya Bu. Nanti Ibu mau Fan jemput nggak?”

“Ngomong apaan sih mereka aku nggak ngerti. Ngapain juga lagi cowok itu bawain barang-barangnya bu Eki. Sebenernya siapa sih dia?” ujarku dengan penasaran bukan kepalang.

Diary, aku nggak peduli meskipun aku nggak tahu siapa cowok itu. Tapi aku seneng banget karena aku bisa ngeliat dia dan senyumannya yang manis. Rasa sayang dan cinta itu nggak harus di miliki. Buat aku, kalo kita bisa ngeliat dan ngedenger suaranya setiap hari, itu yang kusebut memiliki cinta seutuhnya. Memilikinya dalam hatiku. Tapi, tadi aku sempet denger “Fan”. Itukah nama cowok itu. Tapi fan siapa? Fandi, Nefan, Fanda, atau mungkin Afan. Emangnya kain apa! Cowok semanis dia, pasti punya nama yang sesuai dengannya. Kalo gitu.. aku kasih nama…Defan. Ya aku kasih nama dia Defan. Bagus, sesuai dengan wajahnya yang rupawan.

Krucuk..krucuk..krucuk..kriuk…. Krek..krek..krek…

“Suara paan tuh?”

Ya ampun! Gara-gara mikirin cowok itu aku jadi lupa kalo aku belum makan. Tapi kenapa selalu ada wajah Defan di depanku? Padahal saatnya lagi gak tepat banget. Aku kan lagi laper. Tapi yang namanya cinta itu nggak pernah kenal kata sikon. Mau laper mau kenyang, tetep aja kepikiran. Andai aja aku punya sedikit keberanian untuk ngedeketin kamu. Tapi aku nggak pengen jadi wanita yang agresif. Aku mungkin bukan Luna yang bisa langsung ngajak kenalan kalo ada cowok yang dia taksir. Bahkan untuk cerita ke Luna aja aku nggak punya keberanian, apalagi aku ngajak kenalan cowok yang baru pertama kali ku liat. Bahkan aku nggak tahu dari mana dia berasal. Aku juga gak tahu di mana dia tinggal. Bukan karena mementingkan imageku, tapi aku hanya tak ingin kecewa lebih awal, aku tak ingin cintaku bertepuk sebelah tangan.

Cinta itu gila
Cinta itu memang buta
Selalu memberikan warna berbeda dalam kehidupan kita
Tapi bukan cinta bila tak berbeda

“Cie, nggak nyangka gue sekarang temen gue udah jadi pujangga cinta!”

“ Ye..resek lo! Ngapain lagi ke rumah gue!”

“Jadi gue nggak boleh ni ke rumah lo!”

“Iya, nggak boleh! Nggak boleh sekali maksudnya. Lagian lo sih sekarang dah sombong, gak pernah main ke rumah gue lagi.”

“Ya maap deh Fir, gue kesini juga mampir. Tadi abis dari rumah tante gue.”

“Anterin gw aja yuk!”

“Ke mana?”

“MAKAN!!”

“Makan? Mau banget”

“Dasar lo!”

“Tapi jangan tinggalin gue dong, Fir!”

“Eh, iya kemaren pas pelajaran fisika gw tersiksa banget gara-gara gak ada lo, tapi ada kabar gembira nih.”

“Kabar Gembira apaan?” tanyaku sedikit nggak bergairah

“Ada yang nitip salam buat lo!”

“Siapa?”

“Temen SMP gue. Orangnya sih emang gak cakep-cakep banget, tapi yang penting dompetnya cakep banget Fir!”

“Ah elo, gue mah gak mau deh kayak gitu-gituan. Gue takut kena karma.”

“Payah lo Fir! Yang penting kan kitanya biasa aja.”

“Kalo gitu ambil aja buat lo!” ucapku sambil berlari meninggalkan Luna

Mungkin banyak orang yang mengatakan bahwa aku bodoh. Karena tidak dapat memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kemewahan. Tapi untuk apa kita memperoleh kemewahan bila batin ini harus tersiksa? Pura-pura mengakui cinta yang tak pernah kumiliki dengan orang itu. Hanya ada satu cinta saat ini. Cintaku pada seseorang yang mungkin bernama Defan.

Jalan Barito Raya tidak seperti biasanya. Tidak terlihat pemandangan orang-orang yang sedang berjualan, anak-anak yang bermain bola, ibu-ibu yang berbelanja sayur dan toko-toko pun terlihat sepi. Ada apa dengan jalan ini? Pikirku. Seperti kota mati tanpa kehidupan. Sepanjang perjalanan menuju rumah makan, angin bertiup sangat kencang sekali. Tiupannya kasar, seperti tiupan yang tidak berperasaan. Bukan lagi seperti gula-gula kapas di padang surgawi.

Garam-garam mineral dalam tubuh tiba-tiba menetes dari dahiku. Tetes demi tetesnya keluar seperti air di kutub utara. Terasa dingin dan beku. Ada apa gerangan ini? Perasaan seperti ini timbul lagi. Padahal terakhir kali aku merasakannya adalah saat orang tuaku pergi dari kehidupanku untuk selamanya.

“Lho itu kan Defan,” usikku dalam kalbu.

Mengapa perasaanku seperti ini? Padahal baru saja aku bertemu dengan cowok pujaanku. Seharusnya aku senang.

“Eh, Fir kenape lo?”

“Nggak”

“Kok tampang lo pucat kayak gitu?”

“Nggak papa. Gue cuma…laper! Iya gue laper! Ayo buruan jalannya Lun”

Langkah demi langkah di jalani Fira dengan senyuman. Apalagi saat ia melihat Defan menuju arahnya. Tapi tiba-tiba senyuman itu melayang begitu saja tergantikan dengan teriakan dan tetesan air mata yang terus membanjiri wajah Fira. Sebuah truk kontainer dengan kecepatan sekitar 120 km/jam menabrak sepeda motor silver tanpa menyisakan sedikit berkas kehidupan.

Baru saja aku mengenalmu dan baru saja aku membuatkan nama untukmu tapi kau telah pergi melayang meninggalkan batas ambang yang sering disebut-sebut sebagai “kehidupan”. Bahkan disaat aku belum mengenalmu.

Aku takkan pernah menghapus Defan dari hatiku meski takkan ada Defan-Defan lain yang kan singgah. Meski persahabatan adalah jalan yang ku pilih. Defan tetap menjadi cinta yang lain. Ya, dia. Dia yang tak ku ketahui namanya dan dia yang akan selalu ku kagumi sampai kapan pun.

0 komentar:

Posting Komentar